Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Jumat, 20 Mei 2022

Transmediariau.com, Jakarta - Ketua MPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan maraknya politik transaksional mengikis idealisme dan komitmen politik sebagai sarana perjuangan mewujudkan aspirasi rakyat. Model transisi demokrasi tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Berkembangnya kecenderungan politik identitas dan sentimen primordial dalam kontestasi pemilu merupakan ancaman bagi masa depan demokrasi dan kebhinnekaan bangsa.

Di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dilakukan pemilihan langsung kepala daerah. Hubungan bertingkat yang disiplin dari tingkat terbawah hingga tingkat tertinggi tidak kuat lagi. Masing masing kepala daerah lebih mengutamakan konstituen daripada hierarki di atasnya. 

"Akibatnya hubungan hierarkis antar pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan provinsi tidak efektif. Demikian pula antara daerah dan pusat. Berbagai kebijakan di tingkat pusat maupun provinsi, tidak efektif dijalankan di tingkat kabupaten dan kota," ujar Bamsoet saat memberikan sambutan secara virtual dalam Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, di Jakarta, Jumat (20/5/22).

Turut hadir antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono dan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara M. Guntur Hamzah.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, di tengah kenyataan tersebut, wajar apabila ada sebagian pihak menilai demokrasi Indonesia di era reformasi justru sedang mengalami stagnasi. Demokrasi hanya memanjakan para elit politik, sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan. Terutama  terhadap kesejahteraan dan kemakmurannya.

"Berdasarkan kenyataan tersebut, secara umum pasca reformasi, demokrasi tidak bertambah baik. Hal ini dikarenakan demokrasi yang berkembang cenderung liberal, karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat. Kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum," kata Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menuturkan, timbulnya problem demokrasi di Indonesia bukanlah disebabkan oleh kesalahan konseptual paradigmatik dan pengaturan normatifnya. Melainkan lebih disebabkan melencengnya implementasi demokrasi dari sistem yang mendasarinya. 

"Untuk menangani ketidakseimbangan antara demokrasi dan hukum tersebut, hanya dapat diselesaikan dengan upaya menjadikan hukum sebagai panglima yang harus didahului dengan penataan demokrasi. Agen utama dalam urusan tata kelola ini adalah para penyelenggara negara dan kepemimpinan politik," jelas Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, sudah saatnya sistem serta berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang. Politik tidak dibiarkan sekadar menjadi perjuangan kuasa demi kuasa. Namun harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. 

"Keberadaban bangsa dalam berdemokrasi menjadi salah satu kunci keberhasilan sebuah negara. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berikhtiar untuk mencari yang terbaik bagi negara yang kita cintai, agar tata kelola dalam bernegara selain demokratis juga bisa menghadirkan sistem politik yang baik dengan lahirnya para pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat," pungkas Bamsoet. (*)