Sejarah Awal Kesenian Berdah Berkembang di Kabupaten Inhil

Rabu, 14 Juli 2021

Group Qasidah Berdah (Beredah) Nurul Hikmah Desa Bakau Aceh Mandah, Inhil saat tampil di Perhelatan Penabalan Gelar Dato' Setie Amanah Gubernur Riau Syamsuar di Balai Adat Riau Pekanbaru

TRANSMEDIARIAU.com - Bermula dari Trengganu, Malaysia, lalu ke Johor Bahru disinilah cikal bakal Berdah sampai ke daerah Kepulauan Riau. Menurut Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Mandah, H Said Usman, Berdah itu adalah pembacaan ayat-ayat syair barzanji yang ditimpali oleh tetabuhan ‘ghebane’ yakni sebuah alat musik pukul yang mirip seperti rebana.

“Pada mulanya dulu, baik di Trengganu maupun Johor barzanji disyairkan belum diikuti oleh ghebane. Setelah sampai ke Kepri tepatnya di Daek Lingga, disinilah mulanya pembacaan syair barzanji tersebut diikuti oleh ghebane yang kini kita kenal dengan nama Berdah. Aslinya sendiri kesenian ini dinamakan dengan Qasidah Burdah,” jelas Toko masayrakat Mandah H. Said Usman.

Awalnya, sambung Said Usman, Berdah dari Daek Lingga masuk ke Inhil pertama kali di Kampung Bolak, Mandah. Dari sinilah, katanya, kemudian berkembang hingga ke seantero Mandah yang waktu itu masih meliputi kawasan Kecamatan Kateman hingga Kecamatan Gaung dan Gaung Anak Serka (GAS), Inhil.

“Khusus untuk berdah syair yang dilantunkan yaitu syair karangan Syekh Ahmad Husairi yaitu seorang ulama dan ahli sastra Arab sana,” imbuhnya.

Berdah yang hingga kini masih lestari di Mandah itu, ujar tokoh masyarakat yang memang telah menulis naskah tentang perjalanan Berdah di Inhil tersebut, mulanya memang diadakan dalam setiap penyambutan tahun baru Islam. Kemudian barulah berkembang hingga ke penyelenggaraan kegiatan lainnya seperti nikah-kawin, maulidan, serta pelepasan dan penyambutan jemaah haji.

“Makanya sangat tepat sekali ketika Pemkab Inhil membawa Berdah ini dalam Iven Gema Muharram kemarin karena memang disitulah awalnya Berdah tersebut diselenggarakan. Untuk menyambut tahun baru Islam, memohon agar Allah memberikan kita perlindungan, hidup bahagia dan tenang serta menghindari dari bencana selain puja-puji kita terhadap Nabi Muhammad,” tuturnya.

Perjalanan Berdah sendiri dari Daek Lingga hingga masuk ke Mandah pada mulanya tidaklah mudah. Seperti yang dituturkan oleh Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu (MKA LAM) Kabupaten Inhil, H Syamsuri Latief, dulunya sebagian besar ulama yang ada di Mandah menolak kesenian ini. Hal ini disebabkan ulama tersebut mengharamkan syiar menggunakan alat musik gendang tersebut.

“Jadi awalnya dibawa masuk diam-diam ke Mandah. Ulama waktu itu mengharamkannya. Barulah ketika salah seorang ulama bernama H Khalil disana, saat menyelenggarakan pernikahan anaknya dengan membawa Berdah itu, akhirnya Berdah mulailah marak dimainkan dimana-mana,” ucap Syamsuri.

Khusus Berdah untuk acara pernikahan, jelas Syamsuri pula, ada beberapa kalimat dalam syair itu berbeda. Di sana terdapat syair yang berisikan doa agar pasangan penganten dapat menjalani hidup bahagia dalam membina rumah tangganya.

"Itulah isinya, mendoakan agar pasangan penganten dapat hidup sakinah, mawaddah dan warohmah. Ini dimainkan persis di malam jelang acara puncak pernikahan yang berfungsi juga sebagai penghibur orang-orang yang bekerja malam itu mempersiapkan helat. Dan hebatnya, syair itu persis selesai jelang azan subuh dikumandangkan,” cerita Syamsuri.

Tak berbeda dengan Said Usman, dengan penyelenggaraan event Gema Muharram oleh Pemkab Inhil tahun ini yang mengangkat kesenian Berdah, Syamsuri juga mengharapkan kesenian tersebut dapat semakin terangkat. Diakuinya, walau kesenian tersebut masih ada hingga saat ini di Mandah, tapi beberapa tahun terakhir kesenian tersebut mulai ditinggalkan masyarakat tergerus oleh perkembangan zaman.

“Yang pasti ini merupakan adat budaya kita. Ini patut kita jaga dan lestarikan. Upaya Pemkab Inhil dibawah kepemimpinan Pak Wardan ini sungguh luar biasa hingga saat ini saya lihat langsung sangat banyak grup-grup berdah yang kini tumbuh di Mandah. Semoga upaya tersebut dapat kita jaga dan kawal sehingga adat dan budaya kita tersebut tetap lestari,” pungkas Syamsuri yang saat ditemui mengaku baru pulang dari Mandah, Rabu (14/07).