Menjual Ma'ruf Amin berharap suara milenial

Kamis, 04 Oktober 2018

TRANSMEDIARIAU.COM, Sarung warna krem, berjas putih, berpeci hitam dan beralas sandal kulit. Tampilan khas Ma'ruf Amin di tengah massa DPW PKB Jawa Timur. Berpidato. Berdiri di atas panggung. Dijaga empat petugas keamanan khusus PKB sekelilingnya. Gaya bicaranya pelan. Tidak menggebu-gebu. Namun, tetap membuat para kader PKB dan massa lainnya tak padam semangat. Ma'ruf Amin merupakan ulama besar bagi kalangan Nahdliyin alias warga Nahdlatul Ulama (NU). Biasa disebut kiai. Dalam acara konsolidasi kader PKB se-Jawa Timur di Surabaya, Sabtu pekan lalu, dia hadir sebagai calon wakil presiden. Pendamping Joko Widodo (Jokowi) untuk Pilpres 2019 mendatang. Hadir sebagai bintang utama, Ma'ruf tidak menyinggung tentang program. Di usia sudah 75 tahun, dalam orasinya hari itu hanya membakar semangat para kader untuk memenangkan PKB sekaligus Jokowi-Ma'ruf Amin. Walau ucapannya teduh, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu tidak membuat massa bosan. Mereka mendengarkan baik-baik. Tertib. Seolah mendengar ceramah dari sang kiai. Meski beberapa kali teriakan massa terdengar ketika diajak menggaungkan yel-yel. "Satukan Indonesia, Jokowi-Ma'ruf Amin," ucap Ma'ruf. Massa langsung menyambut. Koor seluruh kader, "Menang, menang, menang!" Ucapan itu diulang beberapa kali. Ada kalanya dia bercerita. Membuat metafora bagaimana dirinya berkenan menjadi cawapres Jokowi. Cerita itu dia pernah dengar ketika masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah atau sekelas Sekolah Dasar (SD). Bercerita tentang seorang bapak tua tengah menanam pohon buah. Lalu seseorang mempertanyakan alasan bapak tua itu bertanam. Sebab pohon buah itu tentu tidak akan dinikmati bapak tua tersebut. Dari situ, kata Ma'ruf, si bapak tua punya jawaban dan kini menjadi pelajaran penting bagi dirinya. Dalam cerita, bapak tua itu menjawab bahwa buah ini bukan untuk dinikmati dirinya melainkan untuk generasi di masa mendatang. Seolah punya keterkaitan dengan kondisi dialami Ma'ruf saat ini. "Maka itu saya katakan bukan buat saya, tapi generasi mendatang. Para Milenial. Makanya milenial dukung Jokowi-Ma'ruf Amin," ucapnya. Selain memberi cerita, Ma'ruf juga berpesan kepada seluruh santri NU untuk tidak mudah putus asa. Contohnya, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut dia, dengan latar belakang santri, Gus Dur sukses menjadi Presiden RI ke-4. Dan di Pilpres 2019, giliran seorang Ma'ruf Amin terpilih sebagai cawapres. "Saya bilang jangan putus asa, jangan rendah hati. Santri harus berbesar hati, santri bisa jadi apa saja, bisa jadi kiai, pengusaha, menteri, wakil persiden bahkan bisa menjadi presiden," imbaunya. Gaya komunikasi Ma'ruf itu menjadi poin penting partai koalisi. Mereka tidak risau. Peran Ma'ruf diharapkan menjadi perekat bangsa. Sehingga dengan gaya seperti itu diharapkan para pendukung menjadi lebih sejuk hatinya. Diakui juru bicara tim sukses Koalisi Indonesia Kerja, Ace Hasan Syadzily, sosok Ma'ruf Amin sebagai tokoh Islam di Indonesia bisa meraup suara kalangan muslim. Bagi kalangan muslim, Ma'ruf merupakan sesepuh sangat dihormati. Apalagi bagi kaum muslim tradisional. Magnet Rais Aam PBNU tersebut bisa menjadi lumbung suara signifikan. Maruf Amin bertemu istri Gus Dur Sinta Nuriyah 2018 Liputan6.com/Herman Zakharia Jadi perekat bangsa Tak hanya mengandalkan pribadi sebagai tokoh agama. Ma'ruf Amin ternyata seorang ekonom muslim. Ahli dalam ekonomi syariah dan memiliki visi membangun arah baru ekonomi Indonesia. Hal ini dirasa sejalan dengan Jokowi ingin menjadikan Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terkuat di Asia. Walau begitu, Ace mengakui, sosok Ma'ruf masih menyisakan masalah kebangsaan usai Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Banyak pihak masih mempermasalahkan ideologi bangsa. Utamanya akibat sentimen agama. Seperti mempertentangkan Islam dan Pancasila. Demi meredam isu kebangsaan itu, pihaknya berencana untuk mempertemukan Ma'ruf Amin dengan pendukung Basuki Tjahatja Purnama alias Ahok. Sebab, tahun 2016 silam, Ma'ruf Amin sebagai Ketua MUI mengeluarkan fatwa dan menyebut ucapan Ahok mengenai surah Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu sebagai pelecehan agama. Tak hanya itu, Ma'ruf juga menjadi saksi ahli memberatkan Ahok dalam persidangan. Pertemuan antara Ma'ruf dan pendukung Ahok dianggap bisa menjadi jalan tengah. Semata untuk membuktikan banyak pihak mempertanyakan komitmen pluralisme sang Kiai. Termasuk kepada mereka memiliki prefensi politik berbeda seperti Ahokers. "Figur Kiai Ma'ruf Amin adalah yang bisa menjadi kekuatan merekatkan semangat kebangsaan di Indonesia," kata Ace kepada merdeka.com Rabu pekan lalu. Politisi Partai Golkar ini menyadari masih banyak pihak mengaitkan isu agama dalam ranah politik. Ketika bicara agama dan politik. Potensi ini menjadi dasar Jokowi memilih pasangan untuk berlaga sebagai inkumben di Pilpres 2019. Maka dari itu sosok Ma'ruf jadi pilihan tepat mendampinginya. Terpilihnya sosok Ma'ruf sekaligus membawa pesan bahwa Jokowi menerima sumber nilai dengan menjadikan tokoh agamawan sebagai cawapres. Selain melawan pelbagai isu, di tahun politik ini suara milenial dianggap sangat menentukan kemenangan para kandidat. Menurut data Kementerian Dalam Negeri jumlah pemilih milenial mencapai 100 juta jiwa dari jumlah pemilih mencapai 196,5 juta jiwa. Sementara lembaga survei Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) menyebut ada 34,4 persen jumlah pemilih milenial dengan usia 17-34 tahun. Dalam hal ini, Ace meyakini sosok Ma'ruf tetap jadi primadona bagi generasi milenial. Menurutnya, demi mendapatkan perhatian milenial cawapres nomor urut 01 itu tak mesti jadi milenial dalam bentuk fisik. Tetapi, kata Ace, Ma'ruf memberikan ruang agar anak muda tumbuh menjadi pengusaha baru lewat ekonomi kreatif. "Jadi kita tidak bisa memahami milenial dalam bentuk fisik saja," kata Ace. Lebih jauh, Ace menyebut, Ma'ruf Amin memang tak dipersiapkan untuk kalangan milenial. Sebab sosok capresnya, Jokowi sudah mampu merebut hati generasi muda. Lagi pula, demi menarik simpati milenial tak perlu menjadi milenial. Melainkan sejauh mana kebijakan dan program kerja bisa memberikan ruang bagi anak muda. Lewat pemanfaataan teknologi komunikasi dan informasi anak muda harus diberikan ruang untuk turut andil dalam pembangunan. Sulit adaptasi di politik Memakai gaya komunikasi ala kiai, membuat Ma'ruf tidak begitu mendapat sorotan. Dia hanya dianggap sebagai pelengkap. Kondisi ini lantaran Ma'ruf memiliki basis massa muslim besar. Apalagi merupakan petinggi NU, salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Mulai dari muslim tradisional sampai moderat. Kondisi itu disadari Pengamat Politik Arie Sudjito. Menurut dia, Jokowi sebagai tokoh nasionalis kurang dimintai kaum religius. Massa Ma'ruf Amin diyakini mampu menambal kekurangan Jokowi. "Basis massa Ma'ruf Amin menambah basis massa yang tidak dimiliki Jokowi," kata Arie, Kamis pekan lalu kepada merdeka.com. Maruf Amin dan istri 2018 Merdeka.com Dengan gaya politik maupun penampilan diusung Ma'ruf, Arie menyebut belum bisa menarik perhatian milenial. Beruntung ini bisa dilapis Jokowi. Apalagi belakangan Jokowi kerap menggunakan gaya politik anak muda. Misalnya saat pembukaan Asian Games. Tampil dengan motor sport, ciri khas anak muda masa kini Sementara itu, Pengamat Politik Usep Ahyar melihat gaya Ma'ruf bila dibandingkan dengan Sandiaga Uno tertinggal jauh. Ma'ruf sulit beradaptasi. Berbeda dengan cawapres nomor urut 02 itu. Meski baru memasuki pekan pertama kampanye, Sandi lebih cepat bertransformasi sebagai cawapres. Sementara melihat Ma'ruf Amin masih nyama di zona ulama. Belum memposisikan diri sebagai calon wakil presiden. "Nah ini PR-nya (tim pemenangan) untuk mendongkrak elektabilitas. (Sebab) selama ini saya kira masih elektabilitas Jokowi (mendominasi)," tegas Usep. ***     Sumber: merdeka.com